Beranda | Artikel
Mewaspadai Budaya-Budaya Jahiliyah
Rabu, 17 Maret 2021

MEWASAPADAI BUDAYA-BUDAYA JHILIYAH

Oleh
Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, MA

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam untuk nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia. Semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.

Pada masa jahiliyah, orang-orang Arab memiliki berbagai budaya dan kebiasaan yang mereka lakukan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kebudayaan itu ada yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Adapun tujuan kita mengenal persoalan ini, ialah agar kita tidak terjerumus ke dalam budaya-budaya jahiliyah tersebut.

Pada abad globalisasi ini betapa cepat pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana telah disinyalir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ (متفق عليه).

“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), niscaya akan kalian ikuti,” maka para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?” (Jawab Rasulullah): “Siapa lagi?!” [HR al-Bukhâri dan Muslim]

Jika kita melihat ke tengah masyarakat, tentu kita akan mendapatkan sebagian besar mereka sudah terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban umat-umat lain. Baik dengan sengaja menirunya dengan alasan model dan gaya, atau karena bodoh terhadap ajaran agama kita sendiri, tidak menyadari bahwa kebiasaan dan gaya tersebut merupakan perilaku umat jahiliyah dahulu.

Tentang budaya dan kebiasaan orang-orang jahiliyah ini, maka Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat, dan begitu pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits, agar umat ini terhindar dan tidak menyerupai kebiasaan mereka yang menyimpang dari kebenaran. Yaitu sebagaimana yang telah diturunkan Allah k kepada para nabi dan rasul-Nya. Baik yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak maupun hukum kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَكَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur`ân supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa. [al-An’âm/6:55].

Allah menjelaskan jalan orang-orang yang berdosa agar kita menghindari dan menjauhinya, agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa, sekaligus menjauhi jalan dan sebab-sebab yang menimbulkan dosa. Diantara jalan-jalan dosa adalah meniru budaya dan peradaban orang-orang jahiliyah serta jalan umat yang dilaknat dan disesatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena ketidaktahuan terhadap sebab-sebab kebatilan bisa membawa seseorang kepada kebatilan itu sendiri. Sebaliknya jika seseorang mengetahui jalan dan sebab kebinasaan, maka ia akan selalu mawas diri. Di samping itu ia akan memberitahukan kepada orang lain agar menghindari sebab-sebab dan jalan kebinasaan tersebut.

Hal inilah yang diungkapkan sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu :

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي (صحيح البخاري برقم (7084) ، وصحيح مسلم برقم (1847).

Adalah para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal yang baik-baik saja, namun saya bertanya kepada beliau tentang hal yang jelek, karena saya takut akan terjerumus ke dalamnya. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Sahabat Hudzaifah Radhiyallahu anhu menggambarkan kepada kita, di antara faktor penyebab yang menjerumuskan seseorang ke dalam kejelekan adalah tidak mengetahui perihal kejelekan itu sendiri. Hal ini ditegaskan lagi oleh khalifah yang kedua, yaitu ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu dalam ungkapannya:

إِنَّمَا تَنْقُضُ عُرَى الإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً إِذَا نَشَأَ فِي اْلإِسْلاَمِ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةِ

(Sesungguhnya putusnya tali Islam itu sedikit demi sedikit apabila tumbuh dalam Islam orang yang tidak mengenal jahiliyah), karena bila seseorang yang tidak mengetahui kebatilan, ia tidak akan mengingkari kebatilan tersebut. Bila demikian halnya, tentu kebatilan itu hari demi hari akan semakin meluas, hingga kemudian diangap sebagai kebenaran. Pada akhirnya, bila ada yang mengingkari, maka ia akan dianggap mengingkari kebenaran. Sehingga terjadi penilaian yang amat keliru, yang batil dianggap benar, dan yang benar dianggap batil.

Gejala ini sudah mulai nampak dalam kehidupan kita. Ketika ada perhatian dari sebagian orang yang peduli untuk menanggulangi berbagai penyimpangan moral dalam masyarakat, kemudian datang kelompok lain dengan menamakan diri pembela hak asasi dan kebebasan. Seolah yang memiliki kebebasan dan hak asasi hanyalah orang yang melanggar. Adapun orang yang patuh, kemanakah hak asasi dan kebebasan mereka? Semestinya yang mendapatkan hukuman ialah orang yang menyimpang, tetapi justru malah memproleh pembelaan. Sebaliknya, orang yang berjalan di atas kebenaran dianggap tidak berwawasan, tidak toleransi, tidak bisa berbeda pendapat, fanatik, mau menang sendiri, dan seterusnya berbagai celaan diarahkan kepada mereka.

Segala perkara jahiliyah dikubur di bawah telapak kaki Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam agar tidak menggali kembali perkara-perkara jahiliyah tersebut, apalagi melestarikannya.

Sebagaimana dinyatakan dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلاَ كُلًّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَيَّ مَوْضُوْعٌ (رواه مسلم)

Katahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur. [HR Muslim]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam  ‘Seluruh perkara-perkara jahiliyah berada di bawah telapak kakiku,’ termasuk dalam hal tersebut, ialah segala hal yang mereka lakukan dalam berbagai ibadah dan budaya, seperti hari-hari besar mereka dan lain-lain dari kebiasaan mereka, … tidak termasuk kedalam hal itu budaya mereka yang diakui dalam Islam,seperti manasik dan diyat orang yang terbunuh, dan lain-lain. Karena yang dipahami dari ungkapan budaya-budaya jahiliyah, ialah hal-hal yang tidak diakui oleh Islam, dan termasuk juga di dalamnya yaitu kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus”.[1]

Dalam sabda yang lain beliau tegaskan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلَاثَةٌ مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ وَمُبْتَغٍ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهَرِيقَ دَمَهُ (رواه مسلم)

“Diriwayat dari sahabat Ibnu Abbas z bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia yang paling dimurkai Allah ada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya)”. [HR Muslim]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Setiap orang yang ingin melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah, ia termasuk dalam hadits ini. Sunnah jahiliyah ialah segala kebiasaan (adat-budaya) yang mereka lakukan. Karena sunnah ialah adat, yaitu kebiasaan yang berulang agar bisa melingkupi semua orang. Yaitu hal-hal yang mereka anggap ibadah ataupun yang tidak mereka anggap ibadah … Barang siapa yang melakukan sesuatu dari adat-adat mereka, maka sesungguhnya ia telah menginginkan sunnah jahiliyah. Hadits ini umum mewajibkan diharamkannya mengikuti segala sesuatu dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dalam hal perayaan hari-hari besar, dan juga di luar perayaan hari-hari besar”.[2]

Beliau rahimahullah mengungkapkan lagi pada kitab lainnya: “Sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Yang mencari dalam Islam sunnah jahiliyah,’ termasuk ke dalamnya, yaitu segala kejahiliyahan secara mutlak; agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, agama penyembah berhala, agama syirik, atau adopsi dari sebagian ajaran-ajaran agama-agama jahiliyah tersebut, maka seluruh bid’ah dan ajaran yang telah mansukh (dihapus), telah menjadi jahiliyyah dengan diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sekalipun kalimat jahiliyah lebih dominan penggunaannya kepada orang-orang Arab, tetapi maknanya sama”.[3]

Berikut kami sebutkan di antara bentuk-bentuk budaya jahiliyyah yang berhubungan dengan keyakinan.

Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ (أخرجه البخاري و مسلم)

Dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

زَادَ مُسْلِمٌ : « وَلَا نَوْءَ وَلَا غُولَ » .

Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan: “Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu”.

Dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, ada beberapa kebiasan orang jahiliyah sebagaimana penjelasan para ulama dalam mengomentari maksud hadits tersebut.

Pertama, al-‘Adwâ.
Yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat berpindah kepada orang lain dengan sendirinya tanpa ada takdir dari Allah.
Di antara budaya keyakinan orang-orang jahiliyah, yaitu mempercayai bahwa penyakit dapat berpindah dengan sendirinya kepada orang lain, tanpa ada takdir dari Allah. Hal ini dapat mengurangi atau membatalkan kemurnian tauhid seseorang kepada Allah. Karena yang dapat menimpakan penyakit dan musibah hanya Allah semata.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam firman-Nya:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ  لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. [al-Hadid/57:22-23].

Namun bukan berarti kita tidak boleh menghindari sebab-sebab yang dapat mencelakan ataupun yang membahayakan. Karena dalam melakukan sebab-sebab itu kita tidak boleh meyakini bahwa sebab itu sendiri yang dapat menyelamat kita. Jika Allah berkendak, bisa saja Allah berbuat sesuatu pada kita tanpa ada sebab. Sebagian ulama mengatakan, meninggalkan sebab adalah menyalahi akal sehat, dan bergantung kepada sebab adalah kesyirikan.

Sebagai contoh, untuk mendapatkan anak maka kita harus menikah. Namun tidak berarti setiap orang yang menikah pasti mendapatkan anak. Karena ada orang yang beristeri empat tidak mempunyai anak. Oleh sebab itu, dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفَرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الأَسَدِ  (رواه البخاري)

Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah (sendiri), tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan Safar adalah bulan sial, dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga. [HR al-Bukhâri].

Penggalan terakhir dari hadits “dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singa” telah dibuktikan oleh ilmu medis modern kebenarannya. Tetapi Islam telah jauh lebih maju sebelum ahli medis membuktikannya. Ini merupakan salah satu bukti dari sekian banyak bukti kebenaran Islam dan keagungannya.

Dalam hadits di atas terdapat keterangan tentang hukum mengambil sebab keselamatan dari penyakit menular. Dalam sabda lain beliau katakan:

لَا يُورِدُ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ  (رواه مسلم)

Jangan campurkan onta yang sakit ke dalam onta yang sehat. [HR Muslim].

Sebagian ulama berpendapat, dua konteks hadits di atas tidak saling bertentangan. Konteks pertama ditujukan pada orang yang kuat iman dan tawakalnya kepada Allah, terutama bila ada maslahah yang lebih besar, seperti petugas kesehatan dan regu penyelamat. Maka hendaklah ia memantapkan keimanan dan tawakalnya kepada Allah jika situasi mengharuskannya untuk berkorban. Konteks hadits kedua ialah bagi orang yang kurang iman dan tawakalnya kepada Allah. Wallahu a’lam.[4]

Kedua, ath-Thiyarah.
Yaitu menebak apa yang akan terjadi dengan perantara burung. Atau mengundi nasib berdasarkan gerak-gerik binatang, seperti burung dan lainnya. Adakalanya disebut at- tathoyyur, namun maksudnya sama.
Di antara budaya orang-orang jahiliyah, yaitu jika akan berpergian atau melakukan sesuatu; ketika keluar dari rumah, mereka terlebih dahulu memperhatikan binatang yang melintas di hadapan mereka. Binatang yang sering dijadikan pegangan ialah burung. Jika binatang itu melintas dari arah kiri ke kanan mereka, menurut mereka hal itu pertanda perjalanan dan rencananya akan sukses, maka mereka pun melanjutkan perjalanan dan rencananya. Dan jika binatang tersebut melintas sebaliknya, maka ini pertanda sial atau malapetaka akan merintangi mereka. Sehingga mereka pun tidak melanjutkan perjalanan dan rencananya.[5]

Hal ini jelas bertentangan dengan akal sehat, dan apalagi dengan aqidah Islam. Karena binatang tersebut bergerak tanpa pertimbangan akal, dan tidak pula ditugaskan Allah untuk memberitahukan hal-hal yang ghaib kepada manusia.

Melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan karena faktor gerak-gerik binatang sebagai ukuran baik dan buruk adalah perbuatan syirik. Karena telah menggantungkan harapan kepada selain Allah. Hal tersebut hanyalah prasangka yang dibisikan setan untuk menjerumuskan manusia ke lembah kesyirikan. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Disebutkan dalam sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ الْحَكَمِ السُّلَمِيِّ قاَلَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ وَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْإِسْلَامِ وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ قَالَ فَلَا تَأْتِهِمْ قَالَ وَمِنَّا رِجَالٌ يَتَطَيَّرُونَ قَالَ ذَاكَ شَيْءٌ يَجِدُونَهُ فِي صُدُورِهِمْ فَلَا يَصُدَّنَّكُمْ  رواه مسلم.

Dari Sahabat Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu anhu berkata: Aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Rasulullah, saya baru saja meninggalkan kejahiliyahan. Sesunguhnya Allah telah mendatangkan Islam, dan sebagian kami (pada masa jahiliyah) ada yang mendatangi tukang tenung (dukun),” beliau menjawab, “Engkau jangan mendatangi mereka”. “Dan di antara kami ada yang mengundi nasib dengan burung,” beliau menjawab, “Yang demikian adalah sesuatu yang terbayang dalam dada kalian, maka janganlah hal itu menghambat kalian (dari melakukan sesuatu)”. [HR Muslim].

Dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain disebutkan:

من حديث ا بْنِ مَسْعُودٍ مَرْفُوْعًا : الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلَّا … وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ بْنِ مَسْعُودٍ  (رواه أبو داود والترمذي وصححه . وجعل آخره من قول ابن مسعود)

Dari Sahabat Ibnu Mas’ud secara marfu’ (langsung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) : “Mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik, mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik (beliau mengulanginya dua kali), tiada di antara kita kecuali (pernah terlintas dalam ingatannya), tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakkal kepada Allah”. [HR Abu Dâwud dan at-Tirmidzi; dan at-Tirmidzi menshahîhkannya, dan menganggap akhir hadits tersebut merupakan ungkapan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu].

Dalam dua hadits ini disebutkan, perasaan pesimis yang timbul dengan mendasarkan pada gerak-gerik burung merupakan sikap keraguan belaka. Cara untuk menghilangkan perasaan tersebut, ialah dengan bertawakkal kepada Allah. Karena Allah tidak menjadikan gerak-gerik binatang atau burung sebagai dalil dan tanda-tanda untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi.

Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih senang kepada sikap optimis dari sikap pesimis, sebagaimana sabda beliau:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ

Dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, dan aku lebih suka kepada sikap pesimis,” para sahabat bertanya: “Apa sikap pesimis itu?” Beliau menjawab,”Yaitu kalimat yang baik”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

وَلأَبِي دَاوُدَ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ ، قال : ذُكِرَتْ الطِّيَرَةُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلَا تَرُدُّ مُسْلِمًا فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مَا يَكْرَهُ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ

Imam Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Seseorang menyebut di hadapan Rasulullah tentang mempercayai gerak-gerik burung, beliau pun menyanggah; yang terbaik ialah bersikap optimis, jangan sampai hal itu mengembalikan seorang muslim (dari tujuannya); jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia berkata: ‘Ya Allah, tiada yang mampu mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang mampu menolak kejelekkan kecuali Engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Engkau’.”

Dalam sabda lainnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, barang siapa yang melakukan ath-thiyarah, maka ia telah berbuat syirik. Dan sebagai kafarat, ialah membaca do’a yang beliau sebutkan dalam hadits ini:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عْنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ قَالَ أَنْ يَقُولَ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ  لَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ وَلَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ (رواه أحمد، وصححه الألباني في “إصلاح المساجد”: 116)

Dari sahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa yang dikembalikan ath-thiyarah dari keperluannya, maka ia telah berbuat syirik”. Para sahabat bertanya: “Apa kafarah untuk itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Dia mengucapkan,’Ya Allah, tiada ketentuan nasib kecuali ketentuan Engkau. Dan tiada (yang dapat memberi) kebaikan kecuali Engkau. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau’.” [HR Imam Ahmad, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam kitab Islâhul-Masajid, 116].

Ketiga, al-Hâmah.
Yaitu meyakini bahwa burung hantu merupakan jelmaan dari seseorang yang dibunuh, dan pembunuhan itu tidak dibalas dengan pembunuhan pula.
Di antara budaya kaum jahiliyah, yaitu sebuah keyakinan barang siapa yang mati terbunuh lalu tidak dibalas dengan pembunuhan juga, maka ia akan menjadi burung hantu yang senantiasa meminta tolong dan menundukkan wajahnya sampai dibalas atas pembunuhannya.[6]

Keyakinan ini mirip dengan reinkarnasi yang diyakini orang-orang Hindu. Yaitu bila seseorang mati dan memiliki amal yang baik, maka ruhnya akan berpindah pada tubuh baru yang lebih baik. Sebaliknya jika amalnya jelek, maka ruhnya akan berpindah ke tubuh binatang. Keyakinan ini tanpa adanya hari berbangkit dan berhisab, karena mereka tidak mempercayai adanya hari akhirat.[7]

Hal ini banyak pula diyakini oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam. Mereka tidak sadar bahwa anggapan ini bertentangan dengan aqidah Islam. Dalam agama Islam, seseorang yang sudah meninggal, ruhnya tidak akan pernah kembali lagi ke dunia, tetapi berada di alam barzah. Keyakinan sebagian orang adanya orang jadi-jadian, seperti jadi ular, babi, harimau, pocong dan seterusnya, ini merupakan keyakinan batil dan kufur.

Sebetulnya yang menyerupai mayat atau yang jadi-jadian tersebur adalah qorin orang tersebut. Qorin, artinya malikat atau jin yang senantiasa bersama manusia semasa ia hidup. Setiap manusia memiliki dua qorin, satu dari malaikat dan satu lagi dari jin. Semasa hidup di dunia, qorin dari malaikat senantiasa memotivasi manusia ke arah yang baik. Adapun qorin dari jin, ia senantiasa memotivasi ke arah yang buruk. Maka yang menyerupai si mayat atau kadangkala berbentuk binatang, ialah qorin dari jin tersebut. Ia dapat menyerupai si mayat dalam bentuk dan suara. Hal ini disebutkan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِينُهُ مِنَ الْجِنِّ قَالُوا وَإِيَّاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَإِيَّايَ إِلَّا أَنَّ اللَّهَ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِي إِلَّا بِخَيْرٍ (رواه مسلم)

Dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak seorang pun di antara kalian kecuali bersamanya ada qorinnya dari Jin”. Para sahabat bertanya:”Engkau juga, ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah, “Termasuk saya, tetapi Allah telah menolong saya di atasnya, maka saya selamat. Sehingga ia tidak menyuruhku kecuali kepada yang baik”. [HR Muslim].

Kata-kata    فَأَسْلَمَ dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Ada yang berpendapat bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam selamat darinya berkat bantuan Allah, dan sebagian ulama memahami bahwa qorin tersebut masuk Islam. Wallahu a’lam.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa qorin itu dua, satu dari jin dan satu lagi malaikat.

 وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ مِنَ الْجِنِّ وَقَرِيْنُهُ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ (رواه مسلم)

Dan sesungguhnya bersamanya ada  qorrin dari jin dan qorin dari malaikat. [HR Muslim].

Jadi tidak benar anggapan sebagian orang bahwa orang yang sudah mati bila ruh tidak diterima Allah ia akan gentayangan di muka bumi. Akan tetapi ruh yang tidak dibukakan pintu langit untuknya akan ditempatkan di sijjîn, yaitu salah satu bagian alam barzah. Sijjîn merupakan tempat ruh orang-orang kafir.[8]

Adapun ruh para syuhadâ`, mereka berada dalam perut burung surga, ia makan dan minum dari buah-buahan dan sungai-sngai surga, sampai kembali lagi kepada jasadnya yang asli setelah hari berbangkit tiba. Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ سَأَلْنَا عَبْدَ اللَّهِ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ قَالَ أَمَا إِنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ  (رواه مسلم)

Dari Masrûq, ia berkata: Aku bertanya kepada ‘Abullah bin Mas’ud tentang ayat “Janganlah kalian kira orang-orang yang mati (berjihad) di jalan Allah dalam keadaan mati, tetapi mereka dalam keadaan hidup diberi rizki di sisi Tuhan mereka,” Ibnu Mas’ud menjawab: “Kami telah menanyakan tentang hal itu (pada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam ),” beliau bersabda: “Ruh-ruh mereka dalam perut burung hijau, baginya lentera yang digantungkan dengan ‘Arasy, ia berpergian dalam surga kemana saja ia suka”. [HR Muslim].[9]

Keempat, Shafar.
Yaitu meyakini bulan Shafar sebagai bulan sial.
Orang-orang jahiliyah memiliki budaya keyakinan bahwa sebagian hari atau bulan membawa kesialan dan malapetaka. Sebagaimana keyakinan mereka terhadap bulan Shafar dan Syawwal. Pada bulan tersebut, mereka meninggalkan urusan-urusan yang penting atau besar, seperti pernikahan, perniagaan dan perjalanan.

Keyakinan ini juga ditiru oleh sebagian orang-orang sekarang, seperti meyakini malam Jum’at Kliwon (penanggalan Jawa) adalah hari sial dan berbahaya jika pergi ke laut untuk menangkap ikan pada malam itu. Begitu pula meyakini hari Selasa sebagai hari api, maka tidak boleh berpergian pada hari itu, dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan lain yang dihubungkan dengan hari, bulan dan tahun. Begitu pula dengan keyakinan orang-orang Cina dalam menyebut nama-nama tahun. Tahun Naga adalah tahun yang kurang menguntungkan, tahun Kuda adalah tahun yang menguntungkan dan seterusnya.

Keyakinan semacam ini menunjukkan bahwa ada yang dapat mendatangkan mudharat selain Allah. Padahal hari dan bulan hanyalah sekedar tempat dan waktu melakukan aktifitas bagi manusia, sehingga sama sekali tidak ada hubungannya dengan bencana ataupun malapetaka. Semua yang terjadi itu sesuai dengan kehendak Allah dan ketentuan-Nya, tanpa ada campur tangan makhluk sedikit pun dalam mengatur alam raya ini. Oleh karena itu, barang siapa yang meyakini seperti kepercayaan orang jahiliyah tersebut, maka ia telah berbuat syirik dalam tauhid rububiyah. Kerena kebatilan keyakinan itu, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam   mengingkarinya, sebagaimana terdapat dalam hadits yang sedang kita bincangkan ini.

Kelima, an-Nau’. 
Yaitu mempercayai bintang.
Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah ialah mempercayai bintang-bintang. Di antara mereka bahkan ada yang menyembah bintang. Mereka meyakini ada bintang-bintang tertentu yang membawa keberkahan dan ada pula bintang-bintang tertentu membawa kesialan dan bencana. Keyakinan ini sangat mendominasi kehidupan orang-orang jahiliyah. Sebagaimana pula sebagian umat meyakini tentang bintang-bintang kelahiran. Mereka menggantungkan harapan dengan bintang-bintang tersebut, seperti mencari jodoh, menentukan pekerjaan yang cocok, dan seterusnya.

Juga di antara keyakinan mereka bila ada bintang jatuh (meteor), maka hal itu sebagai pertanda adanya orang penting yang lahir atau meninggal.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَخْبَرَنِي رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْأَنْصَارِ أَنَّهُمْ بَيْنَمَا هُمْ جُلُوسٌ لَيْلَةً مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُمِيَ بِنَجْمٍ فَاسْتَنَارَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ إِذَا رُمِيَ بِمِثْلِ هَذَا قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ كُنَّا نَقُولُ وُلِدَ اللَّيْلَةَ رَجُلٌ عَظِيمٌ وَمَاتَ رَجُلٌ عَظِيمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهَا لَا يُرْمَى بِهَا لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنْ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى اسْمُهُ إِذَا قَضَى أَمْرًا سَبَّحَ حَمَلَةُ الْعَرْشِ ثُمَّ سَبَّحَ أَهْلُ السَّمَاءِ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ التَّسْبِيحُ أَهْلَ هَذِهِ السَّمَاءِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ الَّذِينَ يَلُونَ حَمَلَةَ الْعَرْشِ لِحَمَلَةِ الْعَرْشِ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ فَيُخْبِرُونَهُمْ مَاذَا قَالَ قَالَ فَيَسْتَخْبِرُ بَعْضُ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ الْخَبَرُ هَذِهِ السَّمَاءَ الدُّنْيَا فَتَخْطَفُ الْجِنُّ السَّمْعَ فَيَقْذِفُونَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ وَيُرْمَوْنَ بِهِ فَمَا جَاءُوا بِهِ عَلَى وَجْهِهِ فَهُوَ حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَقْرِفُونَ فِيهِ وَيَزِيدُونَ  

Dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata: Salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kaum Anshar menceritakan padaku. Ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, ada bintang (mateor) jatuh memancarkan cahaya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: “Apa ucapan kalian pada masa jahiliyah ketika ada lemparan (mateor) seperti ini?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui, dulu kami katakan, ‘pada malam ini telah dilahirkan seorang yang terhormat dan telah mati seorang yang terhormat,’ lalu Rasulullah menjelaskan: “Sesunguhnya bintang itu tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang dan tidak pula karena kelahiran seseorang. Akan tetapi Tuhan kita Tabaaraka wa Ta’ala, apabila telah memutuskan sebuah perkara, bertasbihlah para malaikat yang membawa ‘Arasy. Kemudian diikuti oleh para malaikat penghuni langit yang di bawah mereka, sampai tasbih itu kepada para malaikat penghuni langit dunia. Kemudian para malaikat yang di bawah para malaikat pembawa ‘Arasy bertanya kepada para malaikat pembawa ‘Arasy, Apa yang dikatakan Tuhan kita? Lalu mereka memberitahu apa yang dikatakan Tuhan mereka. Maka malaikat penghuni langit dunia saling bertanya pula di antara sesama mereka, sehingga berita tersebut sampai ke langit dunia. Maka para jin berusaha mencuri dengar, lalu mereka sampaikan kepada wali-walitnya (tukang sihir). Sehingga mereka dilempar dengan bintang-bintang tersebut. Berita itu mereka bawa dalam bentuk yang utuh, yaitu yang sebenarnya tetapi mereka campur dengan kebohongan dan mereka tambah-tambahkan”. [HR Muslim].

Melalui hadits di atas, kita dapat mengetahui beberapa hal, di antaranya sebagai berikut.

  1. Menerangkan keyakinan orang-orang jahiliyah terhadap bintang-bintang.
  2. Menerangkan kebatilan keyakinan tersebut.
  3. Di antara kegunaan bintang. ialah untuk mengusir setan (jin) yang berusaha mencuri berita langit.
  4. Tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung ialah wali-wali setan (jin).
  5. Menerangkan bahwa tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung tidak mengetahui yang ghaib tetapi atas pemberitahuan setan (jin).
  6. Haramnya mempercayai tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung,
  7. Menerangkan bahwa setan (jin) mencampur berita tersebut dengan kebohongan.

Di samping itu orang-orang jahiliyah juga meminta hujan dengan perantaraan bintang-bintang. Semua itu diharamkan bagi setiap muslim karena merupakan kesyirikan yang nyata. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ فِي إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ
رواه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح.

Dari Dzaid bin Khalid al-Juhani, ia berkata: Kami diimami Rasulullah shalat Shubuh di Hudzaibiyah pada bekas hujan yang turun pada malam hari. Tatkala Rasulullah selesai, beliau menghadap kepada para jama’ah, lalu bersabda: “Tahukah kalian apa telah dikatakan Rabb kalian?” Para sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Kata beliau: “Rabb kalian berkata,’Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman dengan-Ku dan ada pula yang kafir. Orang yang mengatakan kita diturunkan hujan berkat karunia Allah dan rahmat-Nya, maka orang itu beriman dengan-Ku dan kafir dengan bintang. Adapun orang yang mengatakan kita diturunkan hujan berkat bintang ini dan ini, maka orang itu kafir dengan-Ku, beriman dengan bintang’.” [HR Abu Dawud. Dan Syaikh al-Albani menganggap hadits ini shahih].

Dalam sabda beliau yang lain disebutkan:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ  (رواه مسلم)

Dari Abu Malik al-Asy’ari, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang, dan meratapi mayat”. [HR Muslim].

Dalam hadits ini jelas dinyatakan beberapa kebiasaan jahiliyah, di antaranya meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Adapun kebiasaan lain yang disebutkan dalam hadits tersebut akan dijelaskan secara rinci pada poin ketujuh, kedelapan dan kesembilan. Oleh sebab itu, disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa barang siapa yang mempelajari ilmu bintang, maka sesungguhnya ia mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنْ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ  (قال الشيخ الألباني : حسن)

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata: Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barang siapa yang mempelajari ilmu nujum, berarti ia telah mempelajari satu cabang dari sihir, akan selalu bertambah selama ia tetap mempelajarinya”. [HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Menurut Syaikh al-Albâni, hadits ini hasan].

Yang dimaksud ilmu nujum ialah ilmu ramal dengan perantaraan bintang-bintang. Karena bintang memiliki kegunaan lainnya, yaitu sebagai penunjuk arah bagi nelayan di laut, atau bagi musafir ketika berada di tengah gurun pasir. Allah katakan dalam kitab suci Al-Qur`ân:

وَعَلَامَاتٍ ۚ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ

Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang mereka peroleh petunjuk (di malam hari). [an-Nahl/16:16]

Imam Qotâdah menerangkan: “Tujuan diciptakan bintang-bintang ada tiga; untuk hiasan bagi langit, sebagai penunjuk arah ketika malam hari, untuk mengusir setan yang mencuri berita-berita langit. Barang siapa yang melewati selain itu, maka ia telah berdusta, telah menghilangkan bagiannya, dan telah berlebih-lebihan untuk mengetahui sesuatu yang ia tidak memiliki ilmu tetangnya”.[10]

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah menerangkan, bahwa bintang yang dijadikan untuk melempar setan tidak sama dengan bintang yang menjadi penunjuk arah bagi pelaut atau bagi orang yang dalam perjalanan di gurun pasir. Karena bintang yang dijadikan untuk melempar setan pindah dari tempatnya, tetapi bintang yang menjadi penunjuk arah tetap di tempatnya, sekalipun semuanya disebut bintang. Sebagaimana penamaan hewan dan binatang yang melata, manusia, binatang ternak, serangga dan lain-lain.[11] Barang kali bintang yang menjadi pelempar setan, biasa kita kenal di negeri kita dengan sebutan meteor. Wallahu a’lam.

Keharaman ilmu nujum atau ilmu ramal, yaitu mempercayai bintang sebagai dalil untuk kejadian-kejadian di bumi tidak diragukan. Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً (رواه مسلم) 

Barang siapa yang mendatangi tukang tenung (peramal) untuk menanyakan tetang sesuatau, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. [HR Muslim].

Tukang ramal atau tukang tenung mencakup setiap orang yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib yang akan terjadi, seperti dukun, ahli bintang, peramal, dan lain-lain.[12] Anehnya di tengah masyarakat, mereka digelari dengan sebutan orang pintar, untuk mengelabui orang-orang awam.

Keenam, al-Ghûl.
Yaitu mempercayai adanya hantu yang dapat menyesatkan dan mencelakakan manusia dalam perjalanannya.
Menurut anggapan tersebut, hantu itu muncul dalam bentuk berbeda-beda ketika melewati padang pasir lalu menyesatkan dan mencelakakan manusia. Maka Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan persangkaan tersebut tetapi tidak menafikan keberadaannya. Sedangkan orang-orang jahiliyah, mereka menyakini hantu itu bisa berubah bentuk dan mencelakakan manusia. Kepercayaan ini termasuk syirik, karena menakut-nakuti sesuatu yang ghaib selain Allah dan mempercayai memiliki kemudaratan.[13]

Oleh sebab itu, di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah apabila berhenti atau turun di suatu tempat, mereka berkata: “Aku berlindung dari jin penjaga tempat ini, dari kenakalan orang-orang bodoh mereka”. Maka di antara setan ada yang mencuri barang bawaan mereka. Sehingga mereka memohon kepada jin di tempat tersebut: “Kami adalah tetanggamu,” maka jin tersebut menyahut dan mengembalikan barang-barang mereka.[14]

Dalam hal ini Rasulullah mengajarkan, jika kita berhenti pada suatu tempat dalam suatu perjalanan hendaklah membaca doa berikut :

إِذَا نَزَلَ أَحَدُكُمْ مَنْزِلًا فَلْيَقُلْ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْهُ (رواه مسلم)

Apabila salah seorang kalian berhenti pada suatu tempat hendaklah ia membaca, a’udzu bi kalimatillahittammati min syarrima kholak (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekkan apa yang telah Dia ciptakan), maka sesungguhnya ia tidak akan diganggu oleh sesuatupun sampai ia meninggalkan tempat tersebut. [HR Muslim].

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ  (رواه مسلم)

Dari Abu Malik al-Asy’ari, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang, dan meratapi mayat”. [HR Muslim].

Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ada empat kebiasaan jahiliyah yang amat sulit ditinggalkan oleh sebagian umat ini. Dan agar lebih tertib dan lebih mudah untuk memahami dan menghitung kebiasaan orang-orang jahiliah yang bisa kita kupas dalam bahasan ini, kita lanjutkan nomor di atas sebagai berikut.

Ketujuh, Membanggakan Keturunan.
Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah, ialah senang membanggakan kebaikan dan kelebihan bapak-bapak mereka. Jelas hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia, karena ukuran kemuliaan dalam Islam bukan bentuk yang tampan, wajah cantik, harta banyak, jabatan tinggi, ataupun gelar yang melingkar, akan tetapi kemulian seseorang diukur dengan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ 

Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahateliti. [al-Hujurat/49:13].

Agaknya standar kemuliaan ini sudah mulai semu pada sebagian pandangan kita, sehingga sebagian memacu kemuliaan di luar ketakwaan. Ketika pandangan masyarakat mulai keliru dalam menilai, saat itu tujuan dan haluan hidup mulai bergeser. Sehingga berbagai penyelewengan terjadi dalam berbagai lini kehidupan. Ada yang menggapainya dengan ketampanan dan kecantikan, sekalipun mempertontonkan aurat di hadapan manusia. Ada pula yang menggapainya dengan harta, sekalipun mendapatkannya dengan cara haram. Ada pula yang menggapainya dengan pangkat dan jabatan, sekalipun memalsukan dokumen dan melakukan penyuapan. Ada lagi yang menggapainya dengan gelar, sekalipun dengan cara membeli. Na’udzubllah min dzalik.

Mudah-mudahan dengan adanya saling mengingatkan, maka pandangan tersebut dapat diluruskan kembali. Mari kita capai kemuliaan dengan ketakwaan kepada Allah. Harta bisa mengantarkan kepada ketakwaan jika dihasilkan dari jalan yang halal dan diinfaqkan pada yang halal. Begitu pula profesi lainnya, hendaklah dijadikan sebagai fasilitas untuk mencapai ketakwaan dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Begitu juga dengan keturunan. Demi mencari kemuliaan, sebagian orang ada yang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila pengakuan tersebut dimanfaatkan untuk melakukan legalitas perbuatan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Sekalipun seseorang benar-benar keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi selama ia tidak benar-benar mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka sesungguhnya hubungan keturunan tidak bernilai di sisi Allah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ (رواه مسلم)

Dan orang yang dilambatkan amalnya, tidak bisa dipercepat oleh hubungan keturunannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya kepada kedua paman dan putri beliau sendiri, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjaga mereka dari adzab Allah sedikitpun.

قال النبي  : يَا عَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لَا أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ سَلِينِي بِمَا شِئْتِ لَا أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا (متفق عليه)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai ‘Abbas bin ‘Abdul-Muthalib! Aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyah paman Rasulullah, aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Fathimah binti Rasulullah mintalah harta kepadaku apa saja yang kau mau, aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Oleh sebab itu, bila seseorang benar-benar dari keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jangan bergantung kepada hubungan keturunan semata. Hubungan keturunan itu akan menjadikan lebih mulia, bila diiringi dengan amal shalih. Sehingga mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari yang lainnya, bukan karena hubungan keturunan semata. Namun jika keluarga Nabi tersebut adalah seorang mukmin yang shalih, maka wajib bagi kita dalam mencintainya melebihi dari yang lainnya. Ini dikarenakan dua hal, karena ketakwaannya dan karena hubungan keturunannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jadi tidaklah benar, kalau ada sebagian orang menilai bahwa Ahlus-Sunnah tidak mencintai keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mencintai mereka bukan berarti dengan memberikan kedudukan kepada mereka melebihi dari hak yang diberikan Allah, seperti mengkultuskan mereka dan menganggap mereka maksum dari kesalahan.

Kedelapan, Mencela Keturunan Orang Lain.
Di antara kebiasaan orang-orang jahiliyah, ialah senang mencela keturunan orang lain. Barang kali perilaku ini dampak dari saling berbangga dengan keturunan. Sehingga untuk membela bahwa keturunannya lebih mulia, kemudian ia mencela keturunan orang lain. Misalnya mengingkari keturunan seseorang, mengingkari orang yang mengaku sebagai keturunan suku tertentu, atau menebarkan aib dan kejelekan keturunan seseorang atau suku tertentu. Ini semua merupakan kebudayaan dan kebiasaan jahiliyah yang harus dihindari oleh seorang muslim.

Pada masa sekarang sering terjadi adanya orang tua yang mengingkari anaknya. Perbuatan ini termasuk dalam larangan hadits tersebut. Sebaliknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang seseorang mengaku sebagai keturunan dari suku tertentu, padahal ia bukan dari mereka. Misalnya orang yang mengaku sebagai keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , padahal ia bukan keturunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفِرَى أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ يُرِيَ عَيْنَهُ مَا لَمْ تَرَ أَوْ يَقُولُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لَمْ يَقُلْ (رواه البخاري)

Sesungguhnya kebohongan yang amat besar di sisi Allah, yaitu seseorang yang mengaku kepada selain bapaknya. Atau mengaku matanya melihat apa yang tidak ia lihat. Atau mengatakan terhadap Rasulullah sesuatu yang tidak beliau katakan. [HR al-Bukhâri].

Dalam riwayat lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ (متفق عليه)

Barang siapa yang mengaku kepada selain bapaknya sedangkan ia mengetahui bahwa ia bukan bapaknya, maka diharamkan baginya surga. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Kesembilan, an-Niyâhah.
Yaitu meratapi mayat.
Di antara adat kebiasaan jahiliyah, yaitu meratapi mayat. Dalam Islam, perbuatan seperti ini diharamkan, karena seolah-olah ia menentang keputusan dan ketetapan Allah.

Pada masa jahiliyah, jika salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia, maka anggota keluarga yang masih hidup meratapinya dengan memukul-mukul muka dan merobek-robek pakaian. Bahkan ada pula yang mengurung diri di rumahnya dan senantiasa berpakaian kumuh sampai akhir hayatnya. Oleh sebab itu, datang ancaman bagi orang yang meratapi mayat di akhir hadits tersebut:

وَقَالَ النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ (رواه مسلم)

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wanita yang meratapi mayat bila tidak bertobat sebelum meninggal, ia dibanglitkan pada hari kiamat memakai baju dari timah panas dan mantel dari aspal panas. [HR Muslim].

Dalam hadits lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ (متفق عليه)

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak termasuk golongan kami siapa yang memukul-mukul muka dan merobek-robek baju serta menyeru dengan seruan jahiliyah”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Pada masa ini, kebiasaan itu masih ditiru oleh sebagian kecil umat ini. Dan yang lebih sesat lagi, mereka menjadikannya sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah setiap tahunnya pada tanggal sepuluh Muharram di padang Karbala. Kebiasaan ini sangat jelas merupakan penentangan yang nyata terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi dan informasi, sebagian lagi menilai bahwa kemajuan itu dicapai dengan mengabaikan norma-norma agama. Ada pula yang beranggapan, agama menjadi penghambat kemajuan, apalagi menjalankan ajaran agama dengan konsekwen dan istiqamah. Kebutuhan ekonomi harus menjadi prioritas utama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Bahkan demi mengeruk income yang besar dari pariwisata, kebiasaan-kebiasaan kuno kembali dihidupkan sekaligus melestarikan segala budaya-budaya kuno. Misalnya kebiasaan suatu suku yang tidak berpakaian harus dilestarikan, perayaan pemberian sesajian ke gunung dan ke laut serta ke tempat-tempat yang dianggap keramat harus senantiasa dilakukan.

Bukankah ini suatu kekeliruan dalam berpikir dan beragama? Secara akal, perilaku ini bertentangan dengan slogan kehidupan, bahwa hidup ini harus maju dalam segala segi.

Begitu pula ditinjau dari sudut pandang agama, kebiasaan ini sangat bertentangan dengan tugas Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , merobohkan pondasi tauhid dan tiang-tiang agama. Oleh karena itu, kita harus mewaspadai dan selalu siaga dalam menjaga iman. Tidak tertipu dengan berbagai slogan yang seolah indah, tetapi hakikatnya menyesatkan. Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk memerangi segala perbuatan jahiliyah?

Wallahu a’lam, washalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’în.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Tahun XI/1428/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
______
Footnote
[1] Al-Istiqâmah, 111.
[2] Al-Iqthidhâ`, 76-77.
[3] Al-Istiqâmah, 78-79.
[4] Taisîr al-‘Azîz, 371-374. Lihat pula Ma’ârijul-Qabûl, 1/985.
[5] Miftâh Darus-Sa’âdah, 2/234.
[6] Al-Bad’u wat-Târîkh, 2/118-119.
[7] Al-Bad’u wat-Târîkh, 4/33. Lihat pula Taisîr al-‘Azîz, 379.
[8] Tafsîr ath-Thabarî, 24/282. Tafsir al-Baghawi, dan Tafsir Ibnu Katsîr, 3/413.
[9] Lihat pembahsan ini dalam Majmu’ al-Fatâwâ. 4/224, 9/289. Ar-Rûh, 39 dan Hadiy al-Arwâh, 17.
[10] Tafsir ath-Thabari, 17/185.
[11] Majmu’ al-Fatâwâ, 35/168.
[12] Majmu’ al-Fatâwâ, 35/173.
[13] Taisîr al-‘Azîz, 380 dan Syarah Qashidah Ibnul-Qayyim, 2/321.
[14] Ma’ârijul-Qabûl, 3/995.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/30111-mewaspadai-budaya-budaya-jahiliyah.html